Subhishine Area

Penysalan Karena Buruk Sangka

Rabu, 7 Oktober 2009 11:36:20 - oleh : admin

Malam itu gerimis turun. Angin pun bertiup sangat dingin. Tapi kedua suami-istri yang tinggal di sebuah rumah kecil itu bersikeras hendak keluar juga. Karena ibu suami itu dalam keadaan sakit, mungkin tinggal menunggu waktu saja. Hanya yang sangat merisaukan hati mereka, bagaimana dengan si Harun, anak mereka yang baru berumur empat bulan. Kalau diajak pergi takut masuk angina dan gerimis, bisa jatuh sakit.

            “Bagaimana, Aminah, kita bawa saja Harun?” tanya suaminya.

            “Jangan, Bang , anginnya angin jahat,” cegah istrinya.

            “Habis siapa yang menjaganya di rumah? Apa akan kita tinggalkan sendirian? Aku tidak tega, rumah kita terlalu dekat dengan kuburan. Barangkali…”

            “Ah, Bang, jangan berpikir yang bukan-bukan.” sangah istrinya yang cantik dan manja itu. “Kan ada Hurairah di rumah. Dia saja kita suruh menjaga Harun.”

            “Betul, Aminah. Mengapa aku tidak ingat kepada si Hurairah?” balas suaminya dengan gembira.

            “Meong…,” teriaknya kemudian. Terdengar suara gedubrak dari lumbung. Lalu langkah-langkah kecil mendekat dengan cepat. Mucullah Hurairah, seekor kucing yang ramping dan gesit. Bulunya putih mulus, rambut kepalanya hitam mengkilap. Dalam cahaya remang-remang di rumah itu, mata Hurairah bersinar-sinar dengan indahnya. Mata itu sudah sering meruntuhkan tikus-tikus yang merusak simpanan bahan makanan majikannya.

            “Malam ini kau tidak usah menjaga lumbung,” kata bapak si Harun. “Kami mau pergi berdua. Jagalah Harun baik-baik, agar jangan terbangun.”

            Kucing yang cantik itu mngeong sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Kalau bias berkata dia akan menjawab, ”Jangan Khawatir, Tuan, saya akan tunggui Harun supaya tidur dengan lelap. Tak kan saya izinkan seekor nyamuk pun hinggap di tubuhnya.”

            Setelah berpesan begitu, maka bapak dan ibu Harun pun berangkat dengan aman. Mereka tahu bahwa Huraiarah akan melakukan kewajibannya dengan baik, sebab dia adalah seekor kucing yang sangat setia kepada tuannya.

            Begitu melihat majikannya sudah pergi, Hurairah dengan cekatan dan diam-diam melompat ke tempat tidur. Ia mendekam di sebelah si Harun yang tengah mendengkur dengan nyenyaknya. Ekornya dikibas-kibaskan agar tidak ada seekor serangga pun yang berani mengganggunya. Matanya dengan tajam mengawasi sekelilingnya, sementara kedua kaki depannya siap mncakarkan kukunya kepada siapa saja yang berniat mengusik ketenangan majikan kecilnya.

            Menjelang jam sepuluh malam, tiba-tiba kucing itu mendengar bunyi desis dari kolong tempat tidur. Cepat Hurairah menggeram, siap manghadapi sehala kemungkinan. Matanya tiba-tiba terbelak kaget dan marah ketika muncul sebuah mancong yang ternganga, dengan taring dan ludah yang menjulur-julur. Moncong seekor ular besar yang bermaksud menerkam Harun yang masih orok itu. Dengan sigap Hurairah melompat, giginya menghujam ke leher ular tersebut, dan cakarnya menyerang dengan buas. Ular itu murka karena nitnya di haling-halangi oleh makhluk lain. Matanya merah seperti besi terbakar. Dia balas menyerang dengan hebat. Badan si Hurairah dililit dengan ketat, sambil mulutnya mematuk-matuk muka kucing itu. Hurairah hamper kehabisan tenaga karena lilitan ular besar itu, sementara mukanya sudah berlumuran darah. Namun ia tidak mau binasa sebelum membunuh ular tersebut. Dengan segala kemampuan dan kesakitannya ia akan berusaha menyelamatkan nyawa anak tersayang kedua majikannya. Ia berhasil melepaskan diri, lalu dengan cepat menerkam leher ular itu. Digigitnya batang leher makhluk jahat jahat tersebut sekuat tenaga sehingga akhirnya matilah musuhnya.

            Begitu dilihatnya binatang pengganggu itu sudah tergolek kaku, barulah Hurairah dengan sisa-sisa tenaganya naik ke pembaringan, mendekam di samping si Harun. Anak kecil itu masih tertidur dengan lelap. Hurairah menjila-jilat lukanya, sementara perih dan capek menyegat sekujur badannya. Mulutnya masih penuh dengan darah ular tadi, sedangkan pada mukanya bertebaran luka-luka yang menganga.

            Belum pulih kembali tenaganya, terdengar suara majikannya di halaman rumah. Hurairah dengan gerakan loyo turun dari tempat tidur. Pelan-pelan ia berjalan menuju ke pintu, menyambut kedatangan kedua tuannya yang sanga dicintainya. Dilihanya ibu Harun berjalan menunduk sambil terisak-isak. Bapaknya juga tampak sangat murung. Hurairah sangat iba melihanya.

            Mereka berbimbingan tangan memasuki hlaman rumah. Ketika mereka tiba di depan pintu, Hurairah berbunyi lirih: “Ngeong…, ngeong…,” serayaterhuyung-huyung mendekati majikannya.

            Sekonyong-konyong ibu Harun menjerit, “Bang…! Harun, Bang….!”

            Suaminya terperanjat tapi tidak memgerti, “Mengapa Harun, Minah….?”

            “Lihat si Hurairah. Mulutnya berlumuran darah. Pasti anak kita telah diterkam dan dibunuhnya. Oh, Harun…., anak kita, Bang. Bunuh Hurairah, Bang! Ias telah memakan anak kita.”

            Si laki-laki baru tahu sekarang apa maksud istrinya. Betul! Mulut Hurairah penuh dengan darah segar, pasti Harun telah diterkamnya. Tanpa berpikir panjang lagi, laki-laki itu mengambil palang besi. Dengan murak dipukulkannya  benda keras itu ke tubuh si Hurairah. Kucing itu menjerit, “Ngeong….!” Laki-laki itu tambah marah. Daia mengambil sebuah batu, ditimpakannya ke kepala Hurairah. Berhamburan darah dari kepala binatang kecil yang tidak berdosa itu. Badannya terkejang-kejang. Dari matanya yang jernih menetes air mata satu-satunya. Setelah mengeong untuk terakhir kalinya, kucing yang cantik itu pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

            Melihat korbannya sudah mati, bapak dan ibu Harun buru-buru masuk kamar. Alangkah kagetnya mereka begitu melihat suasana kamar itu. Yang tampak pertama kali di depan pintu adalah bangkai ular besar yang hamper putus lehernya. Maka dengan hati berdebr-debar mereka berlari ketempat tidur. Harun sedang tidur di sana dengan aman.

            Barulah mereka bisa menebak, apa yang telah terjadi selama mereka pergi. Bukan Hurairah yang bersalah. Bahkan kucing itu telah berjuang mati-matian. Seketka pucatlah wajah mereka. Mereka menyesal, ternyata Hurairah adalah kucing yang amat setia. Dia tidak memperdulikan keselamatan dirinya asalkan tugas yang dipercayakan kepadanya tertunaikan. Kalua perlu dirinya sendiri yang menjadi korban unutk menyelamatkan nyawa majikan kecilnya. Namun balasan yang di terimanya bukan belaian sayang tanda terima kasih, bahkan nyawanya di habisi dengan kejam.

            Suami-istri itu menangis tersedu-sedu. Bangkai Hurairah diangkat dan diciumi, tapi yang sudah terjadi tak akan terbalik lagi. Dan sesal mereka sia-sia belaka karena sesal itu tak kan menghidupkan yang sudah mati.

versi cetak

Artikel "Kisah Teladan" Lainnya